Disiplin Dilemahkan — Saat Pendidik Dikorbankan demi Popularitas Publik

Disiplin Dilemahkan — Saat Pendidik Dikorbankan demi Popularitas Publik
Gambar: Istimewa

Opini Publik, Bantensuara.Com--Kasus di SMA Negeri 1 Cimarga, Kabupaten Lebak, Banten, baru-baru ini menyita perhatian publik. Kepala sekolah di sana dinonaktifkan setelah menegur keras, bahkan menampar seorang siswa yang kedapatan merokok di lingkungan sekolah. Ironisnya, tindakan itu justru berujung pada laporan orang tua ke pihak berwenang dan gelombang aksi mogok sekolah oleh siswa, seolah-olah pelanggaran disiplin dianggap hal biasa. Lebih mengejutkan lagi, Gubernur dan Wakil Gubernur Banten justru mengambil langkah menonaktifkan kepala sekolah, sebuah keputusan yang menimbulkan kesan bahwa pemerintah daerah lebih membela yang salah daripada menegakkan kedisiplinan.

Secara substansial, teguran keras terhadap siswa yang melanggar tata tertib sekolah merupakan tanggung jawab moral dan profesional seorang kepala sekolah. Pendidikan bukan hanya soal nilai akademik, tetapi juga pembentukan karakter, moral, dan kedisiplinan. Ketika seorang siswa merokok di area sekolah, maka ia tidak hanya melanggar aturan, tetapi juga menantang nilai-nilai pendidikan yang seharusnya dijunjung tinggi.

Sikap kepala sekolah yang berani menegur, bahkan dengan cara yang keras, sebenarnya menunjukkan ketegasan dan komitmen terhadap pendidikan karakter. Namun, realitas sosial hari ini justru memperlihatkan fenomena terbalik: guru ditekan, siswa dimanjakan, dan orang tua menjadi pihak yang mudah tersinggung. Akibatnya, wibawa lembaga pendidikan kian tergerus.

Kasus Cimarga menjadi gambaran nyata bagaimana keberanian pendidik bisa berujung pada sanksi, bukan apresiasi. Ketika kepala sekolah harus dinonaktifkan hanya karena menegur siswa yang salah, maka pertanyaan mendasar muncul: di mana posisi moral pendidikan kita hari ini? Apakah sekolah masih memiliki ruang untuk menegakkan aturan, ataukah kini harus tunduk pada tekanan opini publik yang sering kali tidak memahami konteks?

Tentu, tindakan menampar siswa tidak dapat dibenarkan sepenuhnya secara hukum dan etika, tetapi harus dilihat dari motif dan situasi emosional yang melatarinya. Tidak sedikit tenaga pendidik yang akhirnya bereaksi spontan karena akumulasi tanggung jawab, frustrasi, dan keprihatinan atas perilaku siswa yang kian sulit diatur. Menjadikan hal itu sebagai alasan untuk menonaktifkan kepala sekolah tanpa kajian komprehensif justru mencederai semangat pembinaan yang menjadi inti dari dunia pendidikan.

Lebih jauh, tindakan orang tua yang tidak menerima teguran sekolah adalah cermin dari melemahnya kesadaran akan tanggung jawab bersama dalam mendidik anak. Pendidikan bukan hanya urusan sekolah, tetapi juga tugas moral keluarga. Jika anak berbuat salah, maka seharusnya orang tua berterima kasih karena pihak sekolah masih peduli, bukan justru menyerang pendidik.

Sudah saatnya kita kembali pada prinsip dasar pendidikan: anak harus dididik, bukan dimanjakan. Bagi siswa yang melanggar berat seperti merokok, membangkang, atau melakukan kekerasan di sekolah, perlu ada sistem pembinaan disiplin khusus — bahkan jika perlu dimasukkan ke pelatihan berkarakter semi-militer untuk menanamkan nilai kedisiplinan, tanggung jawab, dan hormat pada aturan.

Pendidikan karakter tidak akan lahir dari lingkungan yang permisif. Jika setiap tindakan tegas pendidik justru berujung sanksi, maka jangan heran jika generasi yang tumbuh kelak menjadi generasi yang sulit diatur dan anti terhadap aturan.

Urusan sekolah adalah urusan tenaga pendidik, bukan arena sensasi politik atau pencitraan pejabat publik. Jangan sampai keputusan yang diambil justru merugikan para pendidik yang sejatinya berjuang menjaga moral anak bangsa.

Menegakkan disiplin memang tidak selalu populer, tetapi tanpa disiplin, pendidikan hanyalah formalitas tanpa makna. (Red).

Redaksi/Bantensuara.Com
Penulis : ZKampak Aktivis Generasi Muda Banten