Pemuda sebagai Subjek Perubahan: Meneguhkan Idealisme di Tengah Arus Kekuasaan Lokal
Pandeglang, Bantensuara.com--Refleksi atas Sumpah Pemuda 28 Oktober menjadi momentum penting bagi generasi muda Pandeglang untuk menegaskan kembali komitmen perjuangan dalam menjawab tantangan zaman. Di tengah derasnya arus globalisasi dan sistem ekonomi yang dikuasai modal besar, pemuda tidak boleh kehilangan arah dan kesadaran politiknya. Sebab sejatinya, setiap generasi muda memiliki tanggung jawab historis untuk menjaga kedaulatan bangsa dan memperjuangkan kesejahteraan rakyat.
Kini bentuk penjajahan tidak lagi berupa kolonialisme klasik, melainkan hadir dalam wajah baru yang disebut neokolonialisme — sistem penindasan modern yang menundukkan bangsa melalui ketergantungan ekonomi, politik, dan budaya. Neokolonialisme bekerja halus: menjauhkan rakyat dari kontrol atas sumber dayanya sendiri, dan meninabobokan generasi muda dengan hegemoni budaya konsumtif serta politik pragmatis.
Di tingkat lokal, Pandeglang menghadapi tantangan yang serupa. Dalam sektor pembangunan daerah, terutama di ranah otonomi desa, tampak jelas bagaimana ruang partisipasi rakyat mulai terpinggirkan. Otonomi yang seharusnya memberi ruang bagi prakarsa masyarakat justru direbut oleh kepentingan penguasa. Banyak kebijakan desa yang kini tidak lagi berangkat dari kebutuhan rakyat, melainkan diarahkan untuk mengamankan kepentingan politik jangka pendek. Akibatnya, inisiatif masyarakat desa hilang, sementara arah pembangunan ditentukan oleh segelintir elite birokrasi dan politik lokal.
Kondisi ini menjadi tamparan bagi kaum muda Pandeglang. Pemuda tidak boleh hanya menjadi penonton dari skenario politik yang disusun oleh elite. Pemuda harus tampil sebagai penggerak perubahan yang berani melawan ketimpangan, memperjuangkan kemandirian desa, dan mengembalikan semangat pembangunan yang berorientasi pada rakyat.
Sebagaimana nilai yang diwariskan oleh Bung Karno dan perjuangan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), politik harus dipahami bukan sebagai alat mencari kekuasaan, tetapi sebagai jalan menuju pembebasan dan kesejahteraan sosial. Marhaenisme mengajarkan bahwa kekuatan sejati bangsa terletak pada kemandirian rakyat, bukan pada ketergantungan terhadap modal asing maupun elite penguasa.
Di sinilah peran organisasi kepemudaan dan kemahasiswaan menjadi sangat penting. Mereka harus bangkit dari tidur panjang, keluar dari jebakan kepentingan taktis yang sering membunuh idealisme berpikir. Banyak organisasi hari ini kehilangan ruh perjuangan karena terjebak dalam romantisme seremonial dan pragmatisme politik. Padahal, kekuatan sejati pemuda justru lahir dari tumbukan rasionalitas dan nalar kritis yang terbentuk dalam ruang-ruang diskusi, kajian, dan perdebatan ide.
Pemuda Pandeglang harus berani mengisi ruang-ruang intelektual dan publik dengan gagasan segar, analisis tajam, serta keberanian moral untuk menyuarakan kebenaran. Dari kampus hingga desa, dari sekretariat kecil hingga forum publik, diskursus harus dihidupkan kembali sebagai alat perlawanan terhadap pembodohan dan kemapanan yang menindas.
Gerakan perubahan tidak akan lahir dari generasi yang pasif. Ia tumbuh dari semangat pemuda yang berani berpikir, berdiskusi, dan bertindak. Karena itulah, organisasi kepemudaan dan kemahasiswaan di Pandeglang harus memposisikan diri sebagai laboratorium kesadaran — tempat ditempanya kader bangsa yang berpikir progresif dan bertindak revolusioner.
Sumpah Pemuda bukan sekadar peringatan sejarah, melainkan manifesto politik kebangsaan untuk menolak segala bentuk penjajahan dan dominasi. Dalam konteks hari ini, semangat itu berarti menolak penindasan ekonomi, mengawal transparansi kebijakan desa, dan memperjuangkan pembangunan yang berkeadilan.
Pandeglang membutuhkan pemuda yang berani dan berpihak, bukan pemuda yang tunduk pada kekuasaan. Karena masa depan bangsa tidak akan lahir dari generasi yang diam, tetapi dari mereka yang berani bersuara, berpikir, dan bergerak bersama rakyat.
Maka, mari kita kobarkan kembali semangat Sumpah Pemuda sebagai gerakan perlawanan terhadap neokolonialisme modern, dan sebagai tekad bersama untuk membangun Pandeglang yang berdaulat, mandiri, dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyatnya. (Zak/Red).
Oleh : Bung Romli Tobing – Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Cabang Pandeglang

Zek Permana 













