Aroma Ketidakberesan di Proyek Irigasi Cukang Sadang — Pengesub Akui Gunakan Batu Bekas
Pandeglang, BantenSuara.com — Proyek rehabilitasi Daerah Irigasi (DI) Cukang Sadang di Kecamatan Pagelaran, Kabupaten Pandeglang, kembali menuai sorotan. Setelah sebelumnya disorot karena tidak adanya sosialisasi, kini terungkap bahwa pelaksana di lapangan mengakui penggunaan batu material bekas dari bangunan lama.
Jamar, yang diketahui sebagai pihak subkontraktor, membenarkan hal tersebut melalui pesan singkat WhatsApp kepada awak media.
“Ok, itu kan di item pekerjaan emang tercantum bongkar pasang batu eksisting, artinya batu yang dibongkar bisa dipasang kembali,” tulis Jamar dalam pesannya, Kamis (16/10/2025).
Pengakuan itu memperkuat dugaan bahwa proyek yang seharusnya mengutamakan kualitas dan ketepatan spesifikasi teknis justru memanfaatkan material lama yang sudah pernah digunakan.
Berdasarkan penelusuran lapangan, proyek rehabilitasi DI Cukang Sadang merupakan bagian dari kegiatan yang dilaksanakan oleh Balai Besar Wilayah Sungai Cidanau Ciujung Cidurian (BBWSC3), Direktorat Jenderal Sumber Daya Air, Kementerian PUPR.
Dikutip dari Tangselpos.id, tahun ini BBWSC3 memang menjadwalkan rehabilitasi terhadap 11 Daerah Irigasi (DI) di Kabupaten Pandeglang, termasuk DI Pasireurih (Cipeucang), DI Cilemer (Picung), DI Cibakul (Jiput), DI Cisata (Cisata), dan lainnya.
Baca Juga Berita Sebelumnya : Proyek Irigasi, D.I Cukang Sadang Diduga, Gunakan Material Bekas, Tak Pasang Plang Informasi dan Sosialisasi
Sebelumnya diberitakan, pekerjaan proyek di DI Cukang Sadang yang berlokasi di area persawahan Desa Kertasana dilaksanakan tanpa adanya sosialisasi, baik di tingkat desa maupun kecamatan. Hasil penelusuran menunjukkan bahwa kegiatan tersebut dikerjakan oleh PT Nindia Karya, salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN), namun kuat dugaan proyek tersebut disubkontrakkan kembali kepada pihak lain.
Lebih parah lagi, di lokasi tidak ditemukan papan informasi proyek, yang seharusnya berisi data penting seperti nama kegiatan, nilai kontrak, sumber dana, dan jangka waktu pelaksanaan. Kondisi ini mempersulit publik dalam melakukan pengawasan terhadap transparansi penggunaan anggaran — apakah berasal dari APBD Kabupaten, APBD Provinsi, atau APBN.
Pantauan di lapangan memperlihatkan adanya dugaan penggunaan material batu bekas dari bangunan irigasi sebelumnya. Bahkan, sebagian pekerjaan tampak dilakukan dalam kondisi saluran masih tergenang air, yang dikhawatirkan akan berdampak pada mutu konstruksi dan daya tahan bangunan ke depan.
Kepala Desa Kertasana, Uhadi, mengaku tidak mengetahui secara detail terkait pelaksanaan proyek tersebut.
“Kami di desa tidak pernah mendapatkan informasi atau sosialisasi. Tidak ada koordinasi dari pihak pelaksana, padahal lokasi pekerjaan jelas-jelas berada di wilayah Desa Kertasana,” ujarnya dengan nada heran.
Menanggapi hal itu, aktivis muda Pandeglang, Agus M. Ridwan, menilai lemahnya transparansi dalam proyek pemerintah seperti ini sebagai bentuk pelanggaran terhadap prinsip keterbukaan informasi publik.
“Setiap pekerjaan fisik yang menggunakan uang negara wajib diumumkan secara terbuka agar masyarakat bisa ikut mengawasi. Ketika tidak ada sosialisasi, tidak ada plang, dan bahkan kualitas material diragukan, maka patut dipertanyakan komitmen pelaksana terhadap akuntabilitas publik,” tegas Agus.
Ia menambahkan, praktik subkontraktor berlapis-lapis dalam proyek pemerintah seringkali menjadi sumber masalah di lapangan.
“Ketika proyek disubkon berantai, pengawasan melemah dan kualitas pekerjaan menurun karena orientasinya bukan lagi pada mutu, tapi pada keuntungan,” tambahnya.
Warga sekitar berharap instansi teknis terkait, termasuk Kementerian PUPR dan BBWSC3, segera turun langsung meninjau proyek irigasi di Cukang Sadang. Langkah ini penting untuk memastikan bahwa pekerjaan berjalan sesuai spesifikasi, berkualitas, dan transparan dalam penggunaan anggarannya. (Wak/Red) – BantenSuara.com

Zek Permana 













